Sabtu, 29 Agustus 2009
TARIAN KOTA JAKARTA
Kamis, 27 Agustus 2009
SEULAWAH BERCINTA (edisi cerpen)
Saat kesalahan menjadi jalan menuju kebaikan
Saat kebaikan membawa hati tenteram menuju cinta
Kenapa harus menahannya jika itu bukan nafsu?
Maka percayalah cinta itu akan datang kepadamu...
Aku berjalan dalam kisah hidupku yang penuh warna. Berlarian tanpa arah, sesekali hinggap dalam pusaran dunia kelam. Pagar pembatas hidupku telah lama rusak, sehingga segala macam tipu daya iblis sedikit demi sedikit masuk memenuhi rongga tubuhku. Sejak pertama kali aku membentak ayah gara-gara tidak diizinkan merantau ke jakarta, hidupku kacau-balau, tak beraturan. Mama sampai pingsan saat melihatku mengepaki pakaian dan ikut bersama Bang Ahmad, sepupuku ke Jakarta.
Ternyata waktu jua yang memudarkan perangai buruk yang telah lama terpendam dalam diriku. Bang Ahmad mengajariku banyak hal di Jakarta. Ia juga berhasil mencari kerja untukku di sebuah kantor pemerintah di Jakarta Timur. Beberapa bulan berselang, Bang Ahmad menikah dengan seorang gadis asal Sunda. Ia pun pindah kerja dan menetap di Bandung. Sejak itu aku tinggal sendiri dan berjuang meneruskan hidup yang masih terbentang untukku.
Hari itu, aku benar-benar syok saat mendengar kabar kematian ayah. Sudah hampir tiga tahun aku tidak bertemu dengan ayah. Beliau ada di kampung bersama ibu dan adik-adikku. Sementara aku merantau ke Jakarta. Lima bulan yang lalu ibu bersama adikku yang paling bungsu datang ke Jakarta, tapi ayah tidak ikut dengan alasan yang bagiku sulit kuterima.
Waktu itu pukul 07:45 wib aku sedang berada di kantor tempat aku bekerja. Aku di hubungi oleh Obi, adikku paling sulung. Dengan suara parau karena menangis ia bicara di telepon,
“ Bang, ayah sudah meninggal satu jam yang lalu.....”
Obi kembali menangis. Sementara wajahku langsung pucat. Sejenak kemudian air mataku mulai menggenangi pipi. Pikiranku bercampur-aduk, mengingat kembali masa-masa yang aku lalui saat bersama ayah dulu dan juga saat dimana ayah sangat kecewa padaku. Benar saja, air mataku tak henti berlinang. Semakin deras. Sekujur tubuhku serasa meriang. Gejala yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Kemudian suara Akbar memecah lamunanku.
“ Bang, Abang! Apa abang bisa pulang?” tanyanya.
“ Ya. Abang akan booking pesawat sekarang dan langsung terbang ke Banda Aceh secepatnya.” Ujarku penuh keyakinan.
“ kalau begitu jenazah ayah akan kami makamkan setelah abang sampai di rumah.” Ujar Akbar.
“ baik kalau begitu. Akan abang hubungi jika jadi berangkat. Oya, Ibu bagaimana keadaannya, Bi?”
“ Alhamdulillah Ibu sangat kuat menerima ini semua, Bang. Sekarang Ibu masih di samping jenazah ayah sedang membaca Yasiin.” Jawab Obi.
“ ya udah, tolong kamu hibur Ibu dan adik-adikmu.” Pesanku.
Sambungan telepon pun putus. Aku semakin terisak dan pedih. Dosa-dosaku telah banyak kepada ayah. Tapi aku belum sempat meminta maaf. Semoga saja ayah telah memaafkan semua dosaku.
“ seandainya saja aku mau menelepon ayah dan meminta maaf... pasti aku tidak akan merasa bersalah seperti ini.” Sesalku.
Semua sudah terlambat. Suatu penyelasan memang datang terlambat. Begitupun dengan aku yang terus memikirkan rasa sesal yang terus menghujam hatiku. Beberapa saat lamanya aku diliputi rasa sedih dan menyesal, kemudian teringat bahwa aku harus segera mem-booking tiket pesawat.
Tiga jam kemudian, sekitar pukul setengah sebelas setelah semua hal yang menyangkut penerbanganku ke Banda Aceh selesai, pesawat Garuda Indonesia yang kutumpangi pun take off dari Soekarno Hatta menuju Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Di dalam pesawat tak henti-hentinya kupanjatkan doa untuk ayah meski aku juga turut serta membawa seikat penyesalan di hati yang dalam.
Sekitar pukul empat sore aku tiba di rumah. Suasana masih berkabung. Para pelayat sudah banyak berdatangan, ada yang sudah lama dan ada juga yang baru datang. Sanak keluarga terdekat pun sudah banyak yang berkumpul. Sebagian larut dalam wirid dan yang lain sibuk mempersiapkan hidangan untuk pewirid. Tampak diantara mereka, jasad ayahku terbujur kaku diselimuti kain kafan berwarna putih.
Aku melangkah ke arah jasad ayah setelah mengucapkan salam. Kemudian aku membuka kain yang menutup kepala ayah dan langsung merangkulnya sembari berkali-kali mengucap maaf dan mencium keningnya. Sekilas aku memandangi wajah ayah yang bersinar, bibirnya tersenyum. Seakan aku mendengar ayah berbisik, “ ayah telah memaafkanmu, nak.” Hatiku pun sedikit lega dan aku juga yakin bahwa ayah meninggal dalam keadaan bahagia.
Ibu yang tepat berada di sampingku menepuk-nepuk bahuku. Aku juga memeluk ibu. Sebuah pelukan yang hangat, begitu hangat. Aku melihat raut muka ibu yang sangat tegar meski matanya sudah sembab karena mengeluarkan air mata. Aku bangga memiliki ibu seperti dia. Sosok wanita yang lembut dan tegar. She is the best women in the world.
Satu jam kemudian, jenazah ayah dibawa ke pemakaman keluarga setelah sebelumnya menyelesaikan rukun jenazah lainnya. Aku ikut mengiringinya dengan mengangkat tandu jenazah. Di barisan belakang, ibu dan Yuni adik perempuanku satu-satunya juga ikut ke pemakaman. Sementara Obi dan Zikri, mereka bersamaku mengangkat tandu.
Prosesi pemakaman berjalan dengan lancar. Setelah itu kami kembali ke rumah. Masih banyak hal yang harus dikerjakan, salah satunya mempersiapkan sedikit kenduri untuk acara tahlilan dan sebagainya. Di kampungku, tahlilan dilakukan selama tujuh hari. Pada hari ke tujuh kendurinya lumayan besar, tergantung kesanggupan keluarga yang ditinggalkan.
Di waktu luang aku sempat berbincang-bincang dengan ibu. Ibu memulai pembicaraan,
“ Kemal, kamu pasti tahu kalau kamu punya dosa sama ayah dan belum meminta maaf...” kata ibu.
“ Ya, Bu. Kemal tahu itu. Kemal sangat menyesalinya. Apa ayah pernah bilang kalau ia sudah memaafkan dosa Kemal, Bu?” tanyaku.
“ Ya. Ayahmu sudah lama memaafkannya.” Jawab ibu.
“ Syukurlah...”
“ tapi ada satu amanah ayah yang harus kamu tunaikan.” Sambung ibu.
“ apa itu Bu?”
“ ayah ingin kamu menikah dengan calon pilihannya.”
“ apa? Maksud Ibu aku dijodohkan?” tanyaku kaget mendengar apa yang baru saja ibu katakan.
“ ini amanah ayah yang harus kamu lakukan, nak. Berdosa jika tidak dijalankan.” Kata ibu menasehati.
“ baiklah, Bu. Kalau itu yang ayah inginkan dariku untuk menebus kesalahan yang pernah aku lakukan, aku ikhlas. Siapapun calonnya, Insya Allah Kemal terima kalau memang jodoh. Tapi, ngomong-ngomong siapa calon isteri yang dipilih ayah untukku, Bu?”
“ Ibu yakin kamu mengenalinya, ia juga orang kampung kita. Empat bulan yang lalu ia kembali dari Bandung setelah menyelesaikan pendidikan S2 nya di ITB. Setelah melihat dia, ayahmu tertarik dan seminggu kemudian ayah datang kerumah orangtuanya dan menawarkan lamaran untukmu. Betapa senang hati ayah karena lamaran itu mereka terima.
Sekarang gadis itu mengabdikan diri sebagai Dosen di Universitas Syiah Kuala. Baru tadi sore pukul enam ia sampai disini setelah menerima kabar kematian ayahmu. Ia anak yang pintar dan juga shalehah. Pasti kamu menyukainya, apalagi setelah melihat parasnya yang cantik. Pasti kamu tidak akan menolaknya. Nanti malam ia akan datang kemari, coba kamu perhatikan!” Jelas ibu panjang lebar.
“ tapi kenapa ayah, ibu dan adik-adik tidak pernah memberi tahu Kemal tentang lamaran itu?” tanyaku.
“ Ayahmu yang melarangnya. Kata ayah ia sendiri yang akan mengatakannya jika saatnya sudah tepat. Tapi sebelum meninggal ayah sempat mengamanahkannya kepada ibu untuk menyampaikannya.”
Dan benar kata ibu. Malamnya aku melihat sebuah sosok yang bagiku tidak asing lagi. Gadis berkerudung indah dengan pakaian yang selalu terbalut rapi membawa ingatanku pada tujuh tahun yang lalu. Saat pertama kali aku menyatakan cinta padanya.
“ Lihatlah ke puncak Seulawah itu. Aura cintanya seakan menjalar ke dalam tubuhku melalui akar rerumputan hijau segar dan masuk perlahan mengitari sluruh ruang ragaku, mengalir pelan dari ubun-ubun kepalaku, terus masuk ke bilik jantungku. Dan aliran darah membawanya lembut ke dalam hatiku yang paling dalam. Dan aku.... mencintaimu, Rauza.” Kata-kata cinta yang langsung kuutarakan untuknya kala itu.
Ia tidak menjawab. Hanya tersenyum manja. Kelihatannya ia sangat tersentuh dengan kata-kata romantis yang aku ungkapkan padanya. Lalu ia tersipu malu dan sempat grogi serta mati gaya. Tapi cepat-cepat mengusai diri dan langsung pergi dengan meninggalkan seribu tanda tanya di benakku.
Aku tidak langsung menyapanya. Apalagi menanyakan perihal lamaran itu, takutnya bukan dia gadis yang ayah pilih untukku. Untuk beberapa saat, aku hanya diam mengamati gerak-geriknya. Dandanannya masih feminin, sama seperti dulu. Hanya saja sekarang lebih tampak karena lebih dewasa. Cara dia berjalan yang sejak dulu sering aku perhatikan tidak jauh menampakkan perubahan. Tingkah lakunya yang lemah lembut dan tutur katanya yang halus masih belum sempat kutelusuri perubahannya, karena aku belum menghampirinya.
Dari sekian pandangan yang terbayang tentang dia, ada satu titik pandang yang tak bisa ku hindari. Adalah mukanya. Kini ia lebih cantik dari yang terakhir kali aku lihat tujuh tahun yang lalu. Saat aku ikut mengantarnya ke Terminal Bus karena ia akan pindah sekolah ke Bandung.
Tak ada sedikit pun noda yang menempel di wajahnya sejauh mataku memandang. Ia jelas tampak lebih dewasa. Gadis yang begitu istimewa bagiku. Aku berharap dialah yang dipilh oleh ayah untuk menjadi pendamping hidupku. Dialah yang akan menemani hari-hariku dan berjuang bersama anak-anakku. Aku sangat berharap dialah orangnya.
Mataku terus saja tertuju padanya. Tapi tiba-tiba mataku berpas-pasan dengan sorotan matanya yang tajam. Cepat-cepat aku memindahkan pandangan. Aku jadi malu karena ia melihatku dan tersenyum ke arahku. Aku hanya membalas senyumnya, tidak lebih. Tiba-tiba tanpa sepengetahuanku, ibu telah berada tepat disampingku seraya berbisik yang membuatku kaget bukan main.
“ Itulah gadis yang dipilih ayah untukmu. Bukankah dulu kamu menyukainya dan mengejar-ngejar dia?” ujar ibu sambil menunjuk ke arah Rauza.
Rauza juga melihat ketika ibu menunjuk ke arahnya. Ia kembali tersenyum seakan tahu apa yang sedang kami bicarakan. Kemudian ibu berlalu, dan tinggallah aku disini dengan sejuta rasa yang mengalir bersama aliran darahku dan juga sejuta keindahan bunga cinta yang bermekaran di hatiku. Cinta yang sempat layu tak terjamah. Kini seakan menjadi jawaban dari diamnya seorang Rauza tujuh tahun yang lalu saat aku pertama kali mengutarakan cinta padanya. Diantara gunung Seulawah yang menjadi saksi keberanianku mengungkapkan kata cinta di hadapannya.
Ingin rasanya aku menjerit sekeras-kerasnya pada saat itu, karena bahagia. Tapi itu tidak mungkin aku lakukan dalam keadaan berduka seperti ini. Rasa bahagia itu sejenak aku simpan dalam benak. Pada saatnya nanti akan aku keluarkan dan aku siap untuk meraih kembali cinta yang selama ini masih aku jaga.
Rauza tersenyum yang ke tiga kalinya saat aku mendekat dan menyapanya.
“ hi... “ sapaku seperti memulai chatting di Yahoo!.
“ hi juga.” Balasan yang singkat.
Sebenarnya aku tidak berani bicara lebih banyak lagi dengannya, apalagi setelah mengetahui kalau dia akan jadi pendamping hidupku nanti. Tapi aku tidak mau terlihat tidak gentleman di depan Rauza. Sebisa mungkin aku memikirkan kata-kata yang cocok untuk aku keluarkan di hadapannya tanpa langsung menanyakan perihal lamaran.
“ dengar-dengar kamu sekarang jadi dosen di Unsyiah ya?” tanyaku.
“ Iya. Sementara ini jadi dosen Kimia, baru tiga bulan.” Jawabnya.
“ wah.... hebat ya!!” pujiku.
“ ah enggak juga. Oya, aku turut berduka cita atas meninggalnya Ayah Bang Kemal. Tapi, ngomong-ngomong kapan sampainya? Kerja apa di Jakarta? Betah nggak? Udah punya calon belum?” ujar Rauza memborong semua pertanyaan.
“ terima kasih, Za. Tadi sekitar jam empat sampai di rumah. Bang Kemal di sana cuma jadi pegawai negeri biasa. Maklum baru lulusan S1. Lha kamu kan hebat sudah S2. ?!! karena itu sampai sekarang bang Kemal belum dapat calon.” Jawabku sedikit merendah.
“ ah yang benar saja?”
“ oya, kamu sendiri sudah ada pendamping?” balik aku yang bertanya.
Huh... pertanyaan itulah sebenarnya pertanyaan yang paling tolol dan sebaiknya di hindari bagi dua orang yang bisa dipastikan akan segera hidup bersama. Namun, pertanyaan itulah yang muncul dari mulut kami. Apa boleh buat, mulut sudah mengeluarkan ucapan dan tidak dapat ditarik kembali meski itu sesungguhnya menyimpang dari maksud hati. Benar apa yang pernah dikatakan orang, ‘tak selamanya mulut itu sejalan dengan kehendak hati’. Dan itulah yang sebenarnya terjadi padaku. Bahwa hatiku sebenarnya tidak menghendaki mulut ini mengeluarkan pertanyaan semacam itu.
“ saya juga belum ada. Habisnya... nggak ada yang mau sama saya.” Jawabnya lebih merendah.
Aku merasa berbunga-bunga saat dia mengatakan ‘ saya juga belum ada,’ meski aku tahu itu adalah jawaban bohong yang sepengetahuanku baru kali ini dia lakukan. Mana mungkin gadis secantik dan seshalehah Rauza tidak ada yang suka. Kecuali memang benar, kalau semua warga di kampung ini berkelakuan bejat dan mengimpikan isteri yang seksi dan suka mengenakan baju u can see, rok mini atau bikini. Na’uzubillah...
“ kalau begitu, gimana kalau sama bang Kemal saja. Apa kamu mau?” ujarku dengan nada bercanda.
Lagi-lagi keluar pertanyaan yang tidak tepat waktu dari mulutku. Semakin ku tahan maka semakin berat rasa itu membebaniku.
“ kalau memang jodoh, aku mau jadi pendamping Bang Kemal.. “ jawab Rauza tanpa sedikit pun rasa canggung. Seakan dia sudah menyatu dalam diriku, sehingga ia tidak malu mengatakan apapun padaku. Berbeda sekali dengan diriku yang setelah itu terdiam seribu bahasa.
Tepat tujuh hari almarhum ayah. Aku dan Rauza melangsungkan akad nikah di masjid At-Thariq, sebuah masjid di daerah tempat tingggalku. Pesta hanya kecil-kecilan sekaligus kenduri tujuh hari ayah. Aku dan Rauza duduk di pelaminan adat Aceh yang sederhana. Tangan kami saling bersentuhan, sesekali mata kami bertemu dan dalam hati ini sesungguhnya telah bermekaran bunga cinta yang dulu pernah menghiasiku dan diam-diam juga menghiasi Rauza, Gadis yang dipilih Ayah untukku.
“ Lihatlah ke puncak Seulawah itu. Aura cintanya seakan menjalar ke dalam tubuhku melalui akar rerumputan hijau segar dan masuk perlahan mengitari sluruh ruang ragaku, mengalir pelan dari ubun-ubun kepalaku, terus masuk ke bilik jantungku. Dan aliran darah membawanya lembut ke dalam hatiku yang paling dalam. Dan aku.... mencintaimu, Rauza.”
Terimakasih Ayah!
***
Karya: Rhein (Rinaldi A Thal)
Lhokseumawe, November 2008