Sabtu, 29 Agustus 2009

TARIAN KOTA JAKARTA



Ia sedang memunguti puing-puing sisa reruntuhan rumahnya semalam. Badannya terasa sangat lelah karena semalaman tidak tidur. Pakaian yang dikenakannya telah lusuh. Pak Kurdi tak henti-hentinya memikirkan bagaimana sisa hidupnya bisa berjalan tanpa sebuah rumah yang selama ini ia tempati. Sebuah gubuk tua, dua ratus meter dari utara Mall Artha Gading yang terletak di sisi jalan tol Cawang - Tanjung Priok, masih dalam kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. 
Sesekali ia menjerit kepada Tuhan. Kenapa dia diberikan cobaan yang sangat berat. Kadang Pak Kurdi mengumpat semua orang kaya yang datang melihat rumahnya yang sudah rata dengan tanah. 

“ ayo cepat kalian pergi dari sini! Puas kalian melihat penderitaanku, hahh...? orang kaya seperti kalian hanya bisa melihat dan tertawa.. tak punya rasa kemanusiaan!! tapi, coba.. coba lihat aku! Lihat......!!! ayo cepat pergi dari sini! orang kaya sialan... ugh..ugh..” 

Pak Kurdi bagaikan orang gila yang menolak tinggal di rumah sakit jiwa. Tetangganya sudah menganggapnya demikian, dan mereka tidak memperdulikan nasibnya lagi. Pak Kurdi dibiarkan sendiri dalam duka yang berat. Terhimpit dalam hidup yang sulit, di tengah ingar-bingar kota Jakarta yang sesak. Penuh tata ruang kota yang padat, gedung-gedung dan tower-tower tinggi pencakar langit, lalu-lalang kendaraan yang kerap mengundang macet. Meskipun demikian wajah kota Jakarta tetap garang dan punya daya tarik yang luar biasa, sehingga banyak kaum urban yang rata-rata bertampang kecut ingin mengadu nasib di Ibukota dengan beragam ekspektasi. Tapi, ada satu harapan yang dianggap sebagai tujuan utama yaitu menjadi orang kaya. 
Mereka tak peduli dengan anggapan bahwa ‘Jakarta itu lebih kejam dari ibu tiri.’ Kaum urban hanya berpikir optimis akan hidup layak di Jakarta. Meski kenyataannya mereka harus tinggal di tempat-tempat kumuh, di rumah-rumah yang berdempet-dempetan, di gang-gang yang sempit dengan selokan-selokan yang kotor dan bau, udara yang panas dan terkadang banjir jika musim hujan tiba. Itulah sisi negatif dari Jakarta. 
Jakarta sesungguhnya tak layak huni bagi mereka yang hidup serba melarat, seperti Pak Kurdi. Jakarta hanya akan menjadi racun berbisa bagi mereka yang masih terlalu canggung dengan metropolitan. 
Segala macam kesenangan duniawi disuguhkan di kota Jakarta. Mulai dari hiburan musik, clubbing, tempat hang out lainnya bagi anak muda, beraneka ragam party dalam skala besar maupun kecil tersedia bagi mereka yang haus akan kefanaan dunia. 
Hal-hal yang berbau agamis sudah jarang terlihat. Hanya bagi mereka yang sadar akan bahayanya pengaruh duniawi yang masih nampak di ruang-ruang masjid dan mushalla. Mereka seakan menjadi kaum minoritas yang menghuni kota metropolitan itu. Jakarta telah disulap menjadi kota dengan ribuan budaya yang unik tapi juga alot. 
Pak Kurdi merasakan detak jantungnya melemah. Hidungnya semakin meradang karena debu yang beterbangan. Wajahnya tampak sangat pucat di cermin yang ia temui di bawah seng berkarat di bekas sudut kamar tidurnya. Perutnya sudah menjerit, kelaparan. Ia juga merasakan dahaga. Pak Kurdi iba pada dirinya sendiri, “ kenapa tak seorang pun datang untuk menaruh belas kasihan kepadaku? Apa aku cukup kaya seperti orang-orang yang datang sepuluh menit yang lalu? Atau mereka lupa dengan penderitaanku yang dulu. Tidak! Tidak hanya dulu, tapi juga sekarang. Bahkan ini penderitaan yang paling parah bagiku.” Jeritnya sesak. 
Pak Kurdi diselimuti kabut duka dan digotong oleh rasa amarah yang tinggi. Bayang-bayang kelam hidupnya ke depan seakan menari-nari di atas benderang lampu ibukota. Ia terperangkap dalam duka yang mendalam. Ia terlanjur pedih untuk bangkit dan berdiri. Dunia telah meninggalkannya jauh di belakang. Ia sepi sendiri. Apalagi rumah reot yang sudah dua puluh tujuh tahun ia tempati, kini rubuh di depan matanya sendiri. Betapa hancur perasaannya. Kenapa ini harus terjadi? Kenapa? 
Balada jangkrik di depan rumah dulu, nyanyian perkutut dalam sangkar, jeritan anak tikus yang sedang dikejar kucing, atau pun bau busuk sampah di sebelah rumah yang baginya itu menjadi parfum kesehariannya. Kini hilang. Gitar tua pemberian almarhum kakek tiga puluh enam tahun yang lalu pun entah kemana. 
Kembali Pak Kurdi memandangi puing-puing reruntuhan rumahnya. Dalam hati Ia masih berharap agar rumahnya itu bisa terus ia tempati hingga akhir hayatnya. Namun, Tuhan punya kehendak sendiri. Berbeda dengan Pak Kurdi yang sangat jauh dari kesempurnaan. 
Kemudian ia terlarut dalam lamunan yang panjang. Kembali teringat kisah dua puluh tujuh tahun yang lalu saat ia memutuskan untuk merantau ke Ibukota. Meninggalkan sanak keluarga dan kota kelahirannya Sigli, Aceh. Ia hanya sendiri karena sebelum sempat melahirkan anak mereka, istrinya sudah di panggil oleh Yang Maha Kuasa. Ia sangat tertekan waktu itu dan berjanji tidak akan menikah lagi. Namun tak lama waktu berselang, ia kembali hidup seperti biasa. Menjalani hari-hari dengan membuang kesedihan karena ditinggal istri tercinta. 
Hingga suatu hari di televisi, ia melihat suguhan kota Jakarta yang begitu menarik hati, kemilauan lampu-lampu kota di malam hari yang sangat indah, gedung-gedung yang megah berdiri di tengah-tengah kota yang padat. Dan aktivitas-aktivitas manusia metropolitan yang berhasil menyihirtnya untuk datang ke Jakarta, melihat langsung bagaimana sesungguhnya Jakarta itu? apakah seperti yang ia lihat di televisi? 
Hari itu, senin 19 oktober 1979, tepatnya pukul 21:20 wib, dengan membawa gitar pemberian kakeknya dan pakaian seadanya ia sendirian berangkat ke Jakarta dengan bus antar propinsi. Usianya dua puluh sembilan tahun waktu itu. Di terminal kota Sigli, ia menunggu bus PMTOH yang datang dari Banda Aceh. Sejurus kemudian bus PMTOH muncul dan semua penumpang yang ingin berangkat ke Medan, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Bandar Lampung, atau menuju Jakarta, Bandung, Semarang dan Solo langsung bergegas naik dan memilih tempat duduk yang telah di booking sebelumnya. 
Pak Kurdi pun ikut sibuk dalam desakan penumpang di pintu bus yang ingin buru-buru masuk ke dalam bus dan duduk di tempatnya sambil menerawang ke dunia maya memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi di kota tujuan. Apakah nantinya bisa hidup senang di rantauan, atau sebaliknya malah akan hidup lebih menderita dari pada di kampung? Pak Kurdi dan semua penumpang yang ingin mengais rejeki di tanah orang itu yakin bahwa sesungguhnya semua yang sudah dan akan terjadi adalah takdir yang telah digariskan Tuhan kepada manusia dan manusia tidak bisa menolaknya kecuali berusaha. 
Di dalam bus Kurdi muda terus-menerus berzikir minta petunjuk pada Sang Khalik. Jebolan Pondok Pesantren Paloh Al-Fatwa College Padang Tiji, Pidie itu tampak khusu’ dalam zikirnya meski dalam perjalanan. Ia berdoa agar di Jakarta nanti ia bisa hidup layak. Hanya itu pintanya. 
Bus melaju dengan kecepatan rata-rata 80 km/jam. Tiga hari tiga malam waktu yang harus ditempuh dari Aceh untuk bisa sampai di Jakarta dengan menggunakan jalur darat. Akhirnya tepat pada kamis pagi sekitar pukul 08:10 wib, bus sampai di terminal Rawamangun, Jakarta Timur. 
Suasana kota sangat itu sudah ramai. Tampak anak-anak sekolah sedang berangkat menuju sekolah masing-masing. Para karyawan dan karyawati yang sedang berdesakan naik metromini menuju kantor. Dan juga lalu-lalang kendaraan pribadi yang menghiasi jalanan ibukota. 
Itulah panorama kota Jakarta yang pertama ia lihat. Lima menit kemudian ia sudah berada di dalam metromini. Ia belum tahu hendak kemana. Tiada siapa-siapa yang ia kenal di Jakarta. Ia urban seorang diri, di tengah Ibukota yang sangat asing baginya. Bahkan ia sama sekali tak tahu angkutan ibukota ini kemana tujuannya. Ia hanya naik saja mengikuti penumpang lain. 
Dari kaca mobil ia melihat bangunan-bangunan megah khas ibukota yang sangat menarik untuk di pandang. Sedikit lama waktu berselang, tampaklah Monumen Nasional atau yang lebih akrab disebut Monas yang tegap berdiri menyongsong matahari yang memberi harapan cerah bagi seluruh masyarakat kota Jakarta. 
Tugu yang berdiri kokoh di wilayah Jakarta Pusat yang menurut sejarah di bangun pada dekade 1960-an ini sangat elok jika di jadikan objek foto. Tak heran kalau Monas merupakan salah satu daya tarik yang sangat memikat bagi para pendatang dalam negeri maupun turis mancanegara. Wisatawan lokal dan asing tidak akan dianggap pernah ke Jakarta jika belum melihat Monas. 
Dari atas puncak Monas, kita bisa melihat wajah kota Jakarta dengan sangat apik. Sejauh mata memandang, tampak bangunan-bangunan khas ibukota yang menjulang tinggi ke awan, beberapa gedung pemerintahan, tempat-tempat umum, ruas jalanan yang sesak dengan beraneka ragam kendaraan. Tampak pula bangunan masjid kebanggaan warga Jakarta, yaitu masjid Isti’lal yang dibangun begitu megah dan indah, serta rumah Kepresidenan atau yang lebih dikenal dengan nama Istana Negara juga terlihat sangat dekat dengan Monas. 
Di depan Monumen Nasional itulah berdiri Istana Negara yang juga merupakan destination bagi wisatawan yang berlibur ke Jakarta. Bangunan bercat putih itu tampak sedikit usang di era tujuh atau delapan puluhan. Tapi sekarang sudah tampak begitu elegan dan masih tetap saklar karena yang menempatinya adalah kepala negara. 
Setiap tahunnya, di lapangan Istana Negara diadakan upacara kemerdekaan Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus. Selain pelakon upacara, banyak juga masyarakat lokal, wisatawan asing dan para undangan dari negara-negara sahabat yang ikut menyaksikan hari yang paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. Mereka tidak hanya sekedar melihat, tapi ada juga yang mengabadikan moment itu ke dalam kameranya sebagai kenang-kenangan bahwa mereka pernah berkunjung ke Indonesia. 
Ternyata metromini yang ditumpanginya berhenti terakhir di perempatan jalan yang sekarang menjadi kawasan objek belanja kaum elite, Mall Artha Gading. Dari situ ia mencari rumah kontrakan dan berhasil menemukan sebuah rumah tua, kecil dan berdinding papan. Awalnya ia mengontrakinya, namun setelah dua tahun menabung dari hasil jerih payah ia bekerja sebagai pelatih seni tari di sebuah sanggar kecil di daerah tempat tinggalnya dan menjadi buruh tak tetap, rumah itu akhirnya mampu ia beli. 
Rumah itu adalah hartanya satu-satunya, tempat ia melepas lelah setelah seharian bekerja membanting tulang, rumah itu sebagai payung di kala hujan. Atapnya mampu menahan pekikan petir yang pilu. Rumah itu adalah surga baginya. 
Ia juga teringat waktu-waktu yang sering dihabiskannya dahulu jika sudah sangat penat bekerja. Ia sangat gemar bertamasya dan berkeliling-keliling kota. Maka hampir setiap akhir pekan, seperti kebanyakan orang lainnya, ia meliburkan kerjanya yang tak terikat, kecuali pada saat ia melatih tari ia tidak boleh libur. Ia sering mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Mulai dari Museum Fatahillah yang terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 2, Jakarta Barat, Lubang Buaya dan tempat-tempat peninggalan sejarah lainnya sudah habis ia kunjungi. Bahkan hampir dua kali dalam sebulan ia berkunjung ke Monas, meski hanya sekedar melihat keramaian masyarakat kota yang suntuk dengan hari-harinya. 
Ia juga sempat ke ancol. Meski Ancol di zaman dulu tidak sebagus yang ada sekarang, tapi ia merasakan sangat terkesan. Ia harus rela mengeluarkan uang Rp. 350,- untuk bisa masuk Ancol, uang seminggu ia bekerja sebagai buruh waktu itu. Tapi ketika ia berada di dalam kawasan Ancol, jerih payahnya terbayar sudah. Tampak olehnya deburan ombak yang garang, taman-taman yang indah dan aneka permainan yang mengasyikkan. 

Ia begitu terkesan tinggal di Jakarta, waktu itu. Dalam hatinya ia berkata, 

“ alangkah indahnya kota Jakarta bagiku. Banyak tujuan wisata yang membuatku ingin mengunjunginya satu persatu. Andai aku punya banyak uang, aku ingin mengelilingi seluruh wilayah Indonesia agar aku tahu betapa indahnya nusantara ini, buah cipta Sang Maha Agung.” 
Kemudian ia tersadar dari lamunannya, mendapati diri masih dalam suasana duka. Duka yang menari-nari di atas kenangan indah kota Jakarta. Lalu kenangan indah itu seakan lenyap di telan bumi. 
Ia pun kembali terjerat. Tiada tepi yang bisa membuatnya berhenti. Kemudian ia menyapa alam dengan sejuta kepedihan, namun mereka tidak tahu apa yang ia inginkan. 

“ oh.. Tuhan! Aku tidak minta jadi orang kaya. Aku hanya butuh rumahku. Aku juga butuh kasih sayang dari-Mu. Aku mohon berikan aku sedikit cinta-Mu. Bagaimana aku bisa hidup tanpa pertolongan-Mu?” 

Pak Kurdi tidak sanggup menahan air mata yang berjatuhan di pipinya. Ia terlarut dalam doa yang kushu’. 

“ rupanya aku ini cengeng... ha..ha...” 

Waktu pun berlalu begitu cepat. Tak terasa tiga bulan sudah Pak Kurdi melewati hari-hari dengan sangat berat semenjak rumahnya rubuh. Tepatnya sebuah gubuk. Sejak itu tempat tinggalnya tak menentu, kadang di mushalla, di emperan toko, pernah juga di bawah kolong jembatan karena si pemilik toko marah setiap pagi ia bangun sementara Pak Kurdi masih belum mengepaki barang-barangnya. 
Pak Kurdi sering menahan lapar pada saat tidak ada uang untuk membeli nasi atau makanan kecil. Ia sering minum air bak di mushalla-mushalla yang ia lalui jika kehausan. Tapi Pak Kurdi tidak pernah mau mengemis. Meski tidak ada uang di saku, ia tetap berusaha mencarinya dengan cara halal. ia tidak mau minta-minta, meskipun itu bukan perbuatan haram. Musibah yang menimpanya malah membuat hati Pak Kurdi semakin tegar dan kuat. Ia tidak peduli dengan orang-orang yang memandangnya dengan sebelah mata. “Aku tetap aku. Aku harus bisa melanjutkan hidupku di Ibukota negara tercinta. Dan aku bahagia, meski harus hidup dalam kekurangan.” Kata hatinya. 

Kini, dua tahun pun terlalu cepat untuk dinanti. Harapan yang selalu ia impikan datang menjadi kenyataan. Bagai sebuah cerita dongeng, sekarang Pak Kurdi sudah punya rumah baru, rumah yang ia beli dari hasil jerih payahnya bekerja sebagai pelatih seni tari daerah di sebuah sanggar ternama di ibukota. 
Awalnya ia melihat sebuah papan pengumuman yang bertuliskan, “ DICARI 28 PELATIH TARIAN TRADISIONAL, INFO LEBIH LANJUT HARAP HADIR PADA ACARA PEMBUKAAN ‘FESTIVAL TARI JAKARTA 2006’, BERTEMPAT DI GEDUNG KESENIAN JAKARTA, JALAN GEDUNG KESENIAN NO. 1 JAKARTA PUSAT.” 
Dengan kemahirannya menari Seudati yang ia pelajari saat di Aceh dulu dan pernah menjadi pelatih seni tari di sebuah sanggar di Jakarta Utara, Ia pun berminat ingin mencoba peluang emas ini, hingga akhirnya ia berhasil menjadi salah satu pelatih seni tari di Jakarta. Roda hidupnya pun berubah sembilan puluh derajat. Ia kini memiliki pekerjaan yang tetap sebagai guru seni tari. 
Hampir setiap harinya ia menghabiskan waktu untuk melatih anak didiknya belajar Seudati. Meski usianya yang sudah setengah abad, ia masih tetap ulet di bidang tari. Bahkan sekarang Pak Kurdi ikut aktif dalam program “Visit Indonesia 2008” yang bekerja sama dengan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Bertujuan mempromosikan Budaya dan Pariwisata Indonesia ke dunia Internasional. 
Pak Kurdi sekarang bukanlah pak Kurdi yang dulu. Ia sekarang tak lagi bermimpi. Impiannya keliling Indonesia untuk melihat keindahan Nusantara pun terwujud. Ia mulai merasa inilah sebenarnya keindahan. Dan inilah sesungguhnya tarian hidup yang harus dilakonkan manusia. 
Hidup bak sebuah sajak yang ditulis sedemikian indah oleh sang penyair. Tintanya menjadi ruh yang paling berharga, gagangnya bagai lekukan tubuh yang menari-nari di atas kertas putih kosong. Kemudian tinta itu keluar dengan rapi dari gagang yang kokoh, mengalir ke setiap lembaran kertas yang kosong dan menjelma menjadi untaian kata yang indah. Dan itulah hidup, terukir indah dalam setiap goresan tinta Tuhan Yang Maha Kuasa. 


*** 

By: Rinaldi A Thal
Lhokseumawe, Oktober 2008

Kamis, 27 Agustus 2009

SEULAWAH BERCINTA (edisi cerpen)


Saat kesalahan menjadi jalan menuju kebaikan

Saat kebaikan membawa hati tenteram menuju cinta

Kenapa harus menahannya jika itu bukan nafsu?

Maka percayalah cinta itu akan datang kepadamu...

Aku berjalan dalam kisah hidupku yang penuh warna. Berlarian tanpa arah, sesekali hinggap dalam pusaran dunia kelam. Pagar pembatas hidupku telah lama rusak, sehingga segala macam tipu daya iblis sedikit demi sedikit masuk memenuhi rongga tubuhku. Sejak pertama kali aku membentak ayah gara-gara tidak diizinkan merantau ke jakarta, hidupku kacau-balau, tak beraturan. Mama sampai pingsan saat melihatku mengepaki pakaian dan ikut bersama Bang Ahmad, sepupuku ke Jakarta.

Ternyata waktu jua yang memudarkan perangai buruk yang telah lama terpendam dalam diriku. Bang Ahmad mengajariku banyak hal di Jakarta. Ia juga berhasil mencari kerja untukku di sebuah kantor pemerintah di Jakarta Timur. Beberapa bulan berselang, Bang Ahmad menikah dengan seorang gadis asal Sunda. Ia pun pindah kerja dan menetap di Bandung. Sejak itu aku tinggal sendiri dan berjuang meneruskan hidup yang masih terbentang untukku.

Hari itu, aku benar-benar syok saat mendengar kabar kematian ayah. Sudah hampir tiga tahun aku tidak bertemu dengan ayah. Beliau ada di kampung bersama ibu dan adik-adikku. Sementara aku merantau ke Jakarta. Lima bulan yang lalu ibu bersama adikku yang paling bungsu datang ke Jakarta, tapi ayah tidak ikut dengan alasan yang bagiku sulit kuterima.

Waktu itu pukul 07:45 wib aku sedang berada di kantor tempat aku bekerja. Aku di hubungi oleh Obi, adikku paling sulung. Dengan suara parau karena menangis ia bicara di telepon,

“ Bang, ayah sudah meninggal satu jam yang lalu.....”

Obi kembali menangis. Sementara wajahku langsung pucat. Sejenak kemudian air mataku mulai menggenangi pipi. Pikiranku bercampur-aduk, mengingat kembali masa-masa yang aku lalui saat bersama ayah dulu dan juga saat dimana ayah sangat kecewa padaku. Benar saja, air mataku tak henti berlinang. Semakin deras. Sekujur tubuhku serasa meriang. Gejala yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Kemudian suara Akbar memecah lamunanku.

“ Bang, Abang! Apa abang bisa pulang?” tanyanya.

“ Ya. Abang akan booking pesawat sekarang dan langsung terbang ke Banda Aceh secepatnya.” Ujarku penuh keyakinan.

“ kalau begitu jenazah ayah akan kami makamkan setelah abang sampai di rumah.” Ujar Akbar.

“ baik kalau begitu. Akan abang hubungi jika jadi berangkat. Oya, Ibu bagaimana keadaannya, Bi?”

“ Alhamdulillah Ibu sangat kuat menerima ini semua, Bang. Sekarang Ibu masih di samping jenazah ayah sedang membaca Yasiin.” Jawab Obi.

“ ya udah, tolong kamu hibur Ibu dan adik-adikmu.” Pesanku.

Sambungan telepon pun putus. Aku semakin terisak dan pedih. Dosa-dosaku telah banyak kepada ayah. Tapi aku belum sempat meminta maaf. Semoga saja ayah telah memaafkan semua dosaku.

“ seandainya saja aku mau menelepon ayah dan meminta maaf... pasti aku tidak akan merasa bersalah seperti ini.” Sesalku.

Semua sudah terlambat. Suatu penyelasan memang datang terlambat. Begitupun dengan aku yang terus memikirkan rasa sesal yang terus menghujam hatiku. Beberapa saat lamanya aku diliputi rasa sedih dan menyesal, kemudian teringat bahwa aku harus segera mem-booking tiket pesawat.

Tiga jam kemudian, sekitar pukul setengah sebelas setelah semua hal yang menyangkut penerbanganku ke Banda Aceh selesai, pesawat Garuda Indonesia yang kutumpangi pun take off dari Soekarno Hatta menuju Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Di dalam pesawat tak henti-hentinya kupanjatkan doa untuk ayah meski aku juga turut serta membawa seikat penyesalan di hati yang dalam.

Sekitar pukul empat sore aku tiba di rumah. Suasana masih berkabung. Para pelayat sudah banyak berdatangan, ada yang sudah lama dan ada juga yang baru datang. Sanak keluarga terdekat pun sudah banyak yang berkumpul. Sebagian larut dalam wirid dan yang lain sibuk mempersiapkan hidangan untuk pewirid. Tampak diantara mereka, jasad ayahku terbujur kaku diselimuti kain kafan berwarna putih.

Aku melangkah ke arah jasad ayah setelah mengucapkan salam. Kemudian aku membuka kain yang menutup kepala ayah dan langsung merangkulnya sembari berkali-kali mengucap maaf dan mencium keningnya. Sekilas aku memandangi wajah ayah yang bersinar, bibirnya tersenyum. Seakan aku mendengar ayah berbisik, “ ayah telah memaafkanmu, nak.” Hatiku pun sedikit lega dan aku juga yakin bahwa ayah meninggal dalam keadaan bahagia.

Ibu yang tepat berada di sampingku menepuk-nepuk bahuku. Aku juga memeluk ibu. Sebuah pelukan yang hangat, begitu hangat. Aku melihat raut muka ibu yang sangat tegar meski matanya sudah sembab karena mengeluarkan air mata. Aku bangga memiliki ibu seperti dia. Sosok wanita yang lembut dan tegar. She is the best women in the world.

Satu jam kemudian, jenazah ayah dibawa ke pemakaman keluarga setelah sebelumnya menyelesaikan rukun jenazah lainnya. Aku ikut mengiringinya dengan mengangkat tandu jenazah. Di barisan belakang, ibu dan Yuni adik perempuanku satu-satunya juga ikut ke pemakaman. Sementara Obi dan Zikri, mereka bersamaku mengangkat tandu.

Prosesi pemakaman berjalan dengan lancar. Setelah itu kami kembali ke rumah. Masih banyak hal yang harus dikerjakan, salah satunya mempersiapkan sedikit kenduri untuk acara tahlilan dan sebagainya. Di kampungku, tahlilan dilakukan selama tujuh hari. Pada hari ke tujuh kendurinya lumayan besar, tergantung kesanggupan keluarga yang ditinggalkan.

Di waktu luang aku sempat berbincang-bincang dengan ibu. Ibu memulai pembicaraan,

“ Kemal, kamu pasti tahu kalau kamu punya dosa sama ayah dan belum meminta maaf...” kata ibu.

“ Ya, Bu. Kemal tahu itu. Kemal sangat menyesalinya. Apa ayah pernah bilang kalau ia sudah memaafkan dosa Kemal, Bu?” tanyaku.

“ Ya. Ayahmu sudah lama memaafkannya.” Jawab ibu.

“ Syukurlah...”

“ tapi ada satu amanah ayah yang harus kamu tunaikan.” Sambung ibu.

“ apa itu Bu?”

“ ayah ingin kamu menikah dengan calon pilihannya.”

“ apa? Maksud Ibu aku dijodohkan?” tanyaku kaget mendengar apa yang baru saja ibu katakan.

“ ini amanah ayah yang harus kamu lakukan, nak. Berdosa jika tidak dijalankan.” Kata ibu menasehati.

“ baiklah, Bu. Kalau itu yang ayah inginkan dariku untuk menebus kesalahan yang pernah aku lakukan, aku ikhlas. Siapapun calonnya, Insya Allah Kemal terima kalau memang jodoh. Tapi, ngomong-ngomong siapa calon isteri yang dipilih ayah untukku, Bu?”

“ Ibu yakin kamu mengenalinya, ia juga orang kampung kita. Empat bulan yang lalu ia kembali dari Bandung setelah menyelesaikan pendidikan S2 nya di ITB. Setelah melihat dia, ayahmu tertarik dan seminggu kemudian ayah datang kerumah orangtuanya dan menawarkan lamaran untukmu. Betapa senang hati ayah karena lamaran itu mereka terima.

Sekarang gadis itu mengabdikan diri sebagai Dosen di Universitas Syiah Kuala. Baru tadi sore pukul enam ia sampai disini setelah menerima kabar kematian ayahmu. Ia anak yang pintar dan juga shalehah. Pasti kamu menyukainya, apalagi setelah melihat parasnya yang cantik. Pasti kamu tidak akan menolaknya. Nanti malam ia akan datang kemari, coba kamu perhatikan!” Jelas ibu panjang lebar.

“ tapi kenapa ayah, ibu dan adik-adik tidak pernah memberi tahu Kemal tentang lamaran itu?” tanyaku.

“ Ayahmu yang melarangnya. Kata ayah ia sendiri yang akan mengatakannya jika saatnya sudah tepat. Tapi sebelum meninggal ayah sempat mengamanahkannya kepada ibu untuk menyampaikannya.”

Dan benar kata ibu. Malamnya aku melihat sebuah sosok yang bagiku tidak asing lagi. Gadis berkerudung indah dengan pakaian yang selalu terbalut rapi membawa ingatanku pada tujuh tahun yang lalu. Saat pertama kali aku menyatakan cinta padanya.

“ Lihatlah ke puncak Seulawah itu. Aura cintanya seakan menjalar ke dalam tubuhku melalui akar rerumputan hijau segar dan masuk perlahan mengitari sluruh ruang ragaku, mengalir pelan dari ubun-ubun kepalaku, terus masuk ke bilik jantungku. Dan aliran darah membawanya lembut ke dalam hatiku yang paling dalam. Dan aku.... mencintaimu, Rauza.” Kata-kata cinta yang langsung kuutarakan untuknya kala itu.

Ia tidak menjawab. Hanya tersenyum manja. Kelihatannya ia sangat tersentuh dengan kata-kata romantis yang aku ungkapkan padanya. Lalu ia tersipu malu dan sempat grogi serta mati gaya. Tapi cepat-cepat mengusai diri dan langsung pergi dengan meninggalkan seribu tanda tanya di benakku.

Aku tidak langsung menyapanya. Apalagi menanyakan perihal lamaran itu, takutnya bukan dia gadis yang ayah pilih untukku. Untuk beberapa saat, aku hanya diam mengamati gerak-geriknya. Dandanannya masih feminin, sama seperti dulu. Hanya saja sekarang lebih tampak karena lebih dewasa. Cara dia berjalan yang sejak dulu sering aku perhatikan tidak jauh menampakkan perubahan. Tingkah lakunya yang lemah lembut dan tutur katanya yang halus masih belum sempat kutelusuri perubahannya, karena aku belum menghampirinya.

Dari sekian pandangan yang terbayang tentang dia, ada satu titik pandang yang tak bisa ku hindari. Adalah mukanya. Kini ia lebih cantik dari yang terakhir kali aku lihat tujuh tahun yang lalu. Saat aku ikut mengantarnya ke Terminal Bus karena ia akan pindah sekolah ke Bandung.

Tak ada sedikit pun noda yang menempel di wajahnya sejauh mataku memandang. Ia jelas tampak lebih dewasa. Gadis yang begitu istimewa bagiku. Aku berharap dialah yang dipilh oleh ayah untuk menjadi pendamping hidupku. Dialah yang akan menemani hari-hariku dan berjuang bersama anak-anakku. Aku sangat berharap dialah orangnya.

Mataku terus saja tertuju padanya. Tapi tiba-tiba mataku berpas-pasan dengan sorotan matanya yang tajam. Cepat-cepat aku memindahkan pandangan. Aku jadi malu karena ia melihatku dan tersenyum ke arahku. Aku hanya membalas senyumnya, tidak lebih. Tiba-tiba tanpa sepengetahuanku, ibu telah berada tepat disampingku seraya berbisik yang membuatku kaget bukan main.

“ Itulah gadis yang dipilih ayah untukmu. Bukankah dulu kamu menyukainya dan mengejar-ngejar dia?” ujar ibu sambil menunjuk ke arah Rauza.

Rauza juga melihat ketika ibu menunjuk ke arahnya. Ia kembali tersenyum seakan tahu apa yang sedang kami bicarakan. Kemudian ibu berlalu, dan tinggallah aku disini dengan sejuta rasa yang mengalir bersama aliran darahku dan juga sejuta keindahan bunga cinta yang bermekaran di hatiku. Cinta yang sempat layu tak terjamah. Kini seakan menjadi jawaban dari diamnya seorang Rauza tujuh tahun yang lalu saat aku pertama kali mengutarakan cinta padanya. Diantara gunung Seulawah yang menjadi saksi keberanianku mengungkapkan kata cinta di hadapannya.

Ingin rasanya aku menjerit sekeras-kerasnya pada saat itu, karena bahagia. Tapi itu tidak mungkin aku lakukan dalam keadaan berduka seperti ini. Rasa bahagia itu sejenak aku simpan dalam benak. Pada saatnya nanti akan aku keluarkan dan aku siap untuk meraih kembali cinta yang selama ini masih aku jaga.

Rauza tersenyum yang ke tiga kalinya saat aku mendekat dan menyapanya.

“ hi... “ sapaku seperti memulai chatting di Yahoo!.

“ hi juga.” Balasan yang singkat.

Sebenarnya aku tidak berani bicara lebih banyak lagi dengannya, apalagi setelah mengetahui kalau dia akan jadi pendamping hidupku nanti. Tapi aku tidak mau terlihat tidak gentleman di depan Rauza. Sebisa mungkin aku memikirkan kata-kata yang cocok untuk aku keluarkan di hadapannya tanpa langsung menanyakan perihal lamaran.

“ dengar-dengar kamu sekarang jadi dosen di Unsyiah ya?” tanyaku.

“ Iya. Sementara ini jadi dosen Kimia, baru tiga bulan.” Jawabnya.

“ wah.... hebat ya!!” pujiku.

“ ah enggak juga. Oya, aku turut berduka cita atas meninggalnya Ayah Bang Kemal. Tapi, ngomong-ngomong kapan sampainya? Kerja apa di Jakarta? Betah nggak? Udah punya calon belum?” ujar Rauza memborong semua pertanyaan.

“ terima kasih, Za. Tadi sekitar jam empat sampai di rumah. Bang Kemal di sana cuma jadi pegawai negeri biasa. Maklum baru lulusan S1. Lha kamu kan hebat sudah S2. ?!! karena itu sampai sekarang bang Kemal belum dapat calon.” Jawabku sedikit merendah.

“ ah yang benar saja?”

“ oya, kamu sendiri sudah ada pendamping?” balik aku yang bertanya.

Huh... pertanyaan itulah sebenarnya pertanyaan yang paling tolol dan sebaiknya di hindari bagi dua orang yang bisa dipastikan akan segera hidup bersama. Namun, pertanyaan itulah yang muncul dari mulut kami. Apa boleh buat, mulut sudah mengeluarkan ucapan dan tidak dapat ditarik kembali meski itu sesungguhnya menyimpang dari maksud hati. Benar apa yang pernah dikatakan orang, ‘tak selamanya mulut itu sejalan dengan kehendak hati’. Dan itulah yang sebenarnya terjadi padaku. Bahwa hatiku sebenarnya tidak menghendaki mulut ini mengeluarkan pertanyaan semacam itu.

“ saya juga belum ada. Habisnya... nggak ada yang mau sama saya.” Jawabnya lebih merendah.

Aku merasa berbunga-bunga saat dia mengatakan ‘ saya juga belum ada,’ meski aku tahu itu adalah jawaban bohong yang sepengetahuanku baru kali ini dia lakukan. Mana mungkin gadis secantik dan seshalehah Rauza tidak ada yang suka. Kecuali memang benar, kalau semua warga di kampung ini berkelakuan bejat dan mengimpikan isteri yang seksi dan suka mengenakan baju u can see, rok mini atau bikini. Na’uzubillah...

“ kalau begitu, gimana kalau sama bang Kemal saja. Apa kamu mau?” ujarku dengan nada bercanda.

Lagi-lagi keluar pertanyaan yang tidak tepat waktu dari mulutku. Semakin ku tahan maka semakin berat rasa itu membebaniku.

“ kalau memang jodoh, aku mau jadi pendamping Bang Kemal.. “ jawab Rauza tanpa sedikit pun rasa canggung. Seakan dia sudah menyatu dalam diriku, sehingga ia tidak malu mengatakan apapun padaku. Berbeda sekali dengan diriku yang setelah itu terdiam seribu bahasa.

Tepat tujuh hari almarhum ayah. Aku dan Rauza melangsungkan akad nikah di masjid At-Thariq, sebuah masjid di daerah tempat tingggalku. Pesta hanya kecil-kecilan sekaligus kenduri tujuh hari ayah. Aku dan Rauza duduk di pelaminan adat Aceh yang sederhana. Tangan kami saling bersentuhan, sesekali mata kami bertemu dan dalam hati ini sesungguhnya telah bermekaran bunga cinta yang dulu pernah menghiasiku dan diam-diam juga menghiasi Rauza, Gadis yang dipilih Ayah untukku.

“ Lihatlah ke puncak Seulawah itu. Aura cintanya seakan menjalar ke dalam tubuhku melalui akar rerumputan hijau segar dan masuk perlahan mengitari sluruh ruang ragaku, mengalir pelan dari ubun-ubun kepalaku, terus masuk ke bilik jantungku. Dan aliran darah membawanya lembut ke dalam hatiku yang paling dalam. Dan aku.... mencintaimu, Rauza.”

Terimakasih Ayah!

***

Karya: Rhein (Rinaldi A Thal)

Lhokseumawe, November 2008