Sabtu, 29 Agustus 2009

TARIAN KOTA JAKARTA



Ia sedang memunguti puing-puing sisa reruntuhan rumahnya semalam. Badannya terasa sangat lelah karena semalaman tidak tidur. Pakaian yang dikenakannya telah lusuh. Pak Kurdi tak henti-hentinya memikirkan bagaimana sisa hidupnya bisa berjalan tanpa sebuah rumah yang selama ini ia tempati. Sebuah gubuk tua, dua ratus meter dari utara Mall Artha Gading yang terletak di sisi jalan tol Cawang - Tanjung Priok, masih dalam kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. 
Sesekali ia menjerit kepada Tuhan. Kenapa dia diberikan cobaan yang sangat berat. Kadang Pak Kurdi mengumpat semua orang kaya yang datang melihat rumahnya yang sudah rata dengan tanah. 

“ ayo cepat kalian pergi dari sini! Puas kalian melihat penderitaanku, hahh...? orang kaya seperti kalian hanya bisa melihat dan tertawa.. tak punya rasa kemanusiaan!! tapi, coba.. coba lihat aku! Lihat......!!! ayo cepat pergi dari sini! orang kaya sialan... ugh..ugh..” 

Pak Kurdi bagaikan orang gila yang menolak tinggal di rumah sakit jiwa. Tetangganya sudah menganggapnya demikian, dan mereka tidak memperdulikan nasibnya lagi. Pak Kurdi dibiarkan sendiri dalam duka yang berat. Terhimpit dalam hidup yang sulit, di tengah ingar-bingar kota Jakarta yang sesak. Penuh tata ruang kota yang padat, gedung-gedung dan tower-tower tinggi pencakar langit, lalu-lalang kendaraan yang kerap mengundang macet. Meskipun demikian wajah kota Jakarta tetap garang dan punya daya tarik yang luar biasa, sehingga banyak kaum urban yang rata-rata bertampang kecut ingin mengadu nasib di Ibukota dengan beragam ekspektasi. Tapi, ada satu harapan yang dianggap sebagai tujuan utama yaitu menjadi orang kaya. 
Mereka tak peduli dengan anggapan bahwa ‘Jakarta itu lebih kejam dari ibu tiri.’ Kaum urban hanya berpikir optimis akan hidup layak di Jakarta. Meski kenyataannya mereka harus tinggal di tempat-tempat kumuh, di rumah-rumah yang berdempet-dempetan, di gang-gang yang sempit dengan selokan-selokan yang kotor dan bau, udara yang panas dan terkadang banjir jika musim hujan tiba. Itulah sisi negatif dari Jakarta. 
Jakarta sesungguhnya tak layak huni bagi mereka yang hidup serba melarat, seperti Pak Kurdi. Jakarta hanya akan menjadi racun berbisa bagi mereka yang masih terlalu canggung dengan metropolitan. 
Segala macam kesenangan duniawi disuguhkan di kota Jakarta. Mulai dari hiburan musik, clubbing, tempat hang out lainnya bagi anak muda, beraneka ragam party dalam skala besar maupun kecil tersedia bagi mereka yang haus akan kefanaan dunia. 
Hal-hal yang berbau agamis sudah jarang terlihat. Hanya bagi mereka yang sadar akan bahayanya pengaruh duniawi yang masih nampak di ruang-ruang masjid dan mushalla. Mereka seakan menjadi kaum minoritas yang menghuni kota metropolitan itu. Jakarta telah disulap menjadi kota dengan ribuan budaya yang unik tapi juga alot. 
Pak Kurdi merasakan detak jantungnya melemah. Hidungnya semakin meradang karena debu yang beterbangan. Wajahnya tampak sangat pucat di cermin yang ia temui di bawah seng berkarat di bekas sudut kamar tidurnya. Perutnya sudah menjerit, kelaparan. Ia juga merasakan dahaga. Pak Kurdi iba pada dirinya sendiri, “ kenapa tak seorang pun datang untuk menaruh belas kasihan kepadaku? Apa aku cukup kaya seperti orang-orang yang datang sepuluh menit yang lalu? Atau mereka lupa dengan penderitaanku yang dulu. Tidak! Tidak hanya dulu, tapi juga sekarang. Bahkan ini penderitaan yang paling parah bagiku.” Jeritnya sesak. 
Pak Kurdi diselimuti kabut duka dan digotong oleh rasa amarah yang tinggi. Bayang-bayang kelam hidupnya ke depan seakan menari-nari di atas benderang lampu ibukota. Ia terperangkap dalam duka yang mendalam. Ia terlanjur pedih untuk bangkit dan berdiri. Dunia telah meninggalkannya jauh di belakang. Ia sepi sendiri. Apalagi rumah reot yang sudah dua puluh tujuh tahun ia tempati, kini rubuh di depan matanya sendiri. Betapa hancur perasaannya. Kenapa ini harus terjadi? Kenapa? 
Balada jangkrik di depan rumah dulu, nyanyian perkutut dalam sangkar, jeritan anak tikus yang sedang dikejar kucing, atau pun bau busuk sampah di sebelah rumah yang baginya itu menjadi parfum kesehariannya. Kini hilang. Gitar tua pemberian almarhum kakek tiga puluh enam tahun yang lalu pun entah kemana. 
Kembali Pak Kurdi memandangi puing-puing reruntuhan rumahnya. Dalam hati Ia masih berharap agar rumahnya itu bisa terus ia tempati hingga akhir hayatnya. Namun, Tuhan punya kehendak sendiri. Berbeda dengan Pak Kurdi yang sangat jauh dari kesempurnaan. 
Kemudian ia terlarut dalam lamunan yang panjang. Kembali teringat kisah dua puluh tujuh tahun yang lalu saat ia memutuskan untuk merantau ke Ibukota. Meninggalkan sanak keluarga dan kota kelahirannya Sigli, Aceh. Ia hanya sendiri karena sebelum sempat melahirkan anak mereka, istrinya sudah di panggil oleh Yang Maha Kuasa. Ia sangat tertekan waktu itu dan berjanji tidak akan menikah lagi. Namun tak lama waktu berselang, ia kembali hidup seperti biasa. Menjalani hari-hari dengan membuang kesedihan karena ditinggal istri tercinta. 
Hingga suatu hari di televisi, ia melihat suguhan kota Jakarta yang begitu menarik hati, kemilauan lampu-lampu kota di malam hari yang sangat indah, gedung-gedung yang megah berdiri di tengah-tengah kota yang padat. Dan aktivitas-aktivitas manusia metropolitan yang berhasil menyihirtnya untuk datang ke Jakarta, melihat langsung bagaimana sesungguhnya Jakarta itu? apakah seperti yang ia lihat di televisi? 
Hari itu, senin 19 oktober 1979, tepatnya pukul 21:20 wib, dengan membawa gitar pemberian kakeknya dan pakaian seadanya ia sendirian berangkat ke Jakarta dengan bus antar propinsi. Usianya dua puluh sembilan tahun waktu itu. Di terminal kota Sigli, ia menunggu bus PMTOH yang datang dari Banda Aceh. Sejurus kemudian bus PMTOH muncul dan semua penumpang yang ingin berangkat ke Medan, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Bandar Lampung, atau menuju Jakarta, Bandung, Semarang dan Solo langsung bergegas naik dan memilih tempat duduk yang telah di booking sebelumnya. 
Pak Kurdi pun ikut sibuk dalam desakan penumpang di pintu bus yang ingin buru-buru masuk ke dalam bus dan duduk di tempatnya sambil menerawang ke dunia maya memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi di kota tujuan. Apakah nantinya bisa hidup senang di rantauan, atau sebaliknya malah akan hidup lebih menderita dari pada di kampung? Pak Kurdi dan semua penumpang yang ingin mengais rejeki di tanah orang itu yakin bahwa sesungguhnya semua yang sudah dan akan terjadi adalah takdir yang telah digariskan Tuhan kepada manusia dan manusia tidak bisa menolaknya kecuali berusaha. 
Di dalam bus Kurdi muda terus-menerus berzikir minta petunjuk pada Sang Khalik. Jebolan Pondok Pesantren Paloh Al-Fatwa College Padang Tiji, Pidie itu tampak khusu’ dalam zikirnya meski dalam perjalanan. Ia berdoa agar di Jakarta nanti ia bisa hidup layak. Hanya itu pintanya. 
Bus melaju dengan kecepatan rata-rata 80 km/jam. Tiga hari tiga malam waktu yang harus ditempuh dari Aceh untuk bisa sampai di Jakarta dengan menggunakan jalur darat. Akhirnya tepat pada kamis pagi sekitar pukul 08:10 wib, bus sampai di terminal Rawamangun, Jakarta Timur. 
Suasana kota sangat itu sudah ramai. Tampak anak-anak sekolah sedang berangkat menuju sekolah masing-masing. Para karyawan dan karyawati yang sedang berdesakan naik metromini menuju kantor. Dan juga lalu-lalang kendaraan pribadi yang menghiasi jalanan ibukota. 
Itulah panorama kota Jakarta yang pertama ia lihat. Lima menit kemudian ia sudah berada di dalam metromini. Ia belum tahu hendak kemana. Tiada siapa-siapa yang ia kenal di Jakarta. Ia urban seorang diri, di tengah Ibukota yang sangat asing baginya. Bahkan ia sama sekali tak tahu angkutan ibukota ini kemana tujuannya. Ia hanya naik saja mengikuti penumpang lain. 
Dari kaca mobil ia melihat bangunan-bangunan megah khas ibukota yang sangat menarik untuk di pandang. Sedikit lama waktu berselang, tampaklah Monumen Nasional atau yang lebih akrab disebut Monas yang tegap berdiri menyongsong matahari yang memberi harapan cerah bagi seluruh masyarakat kota Jakarta. 
Tugu yang berdiri kokoh di wilayah Jakarta Pusat yang menurut sejarah di bangun pada dekade 1960-an ini sangat elok jika di jadikan objek foto. Tak heran kalau Monas merupakan salah satu daya tarik yang sangat memikat bagi para pendatang dalam negeri maupun turis mancanegara. Wisatawan lokal dan asing tidak akan dianggap pernah ke Jakarta jika belum melihat Monas. 
Dari atas puncak Monas, kita bisa melihat wajah kota Jakarta dengan sangat apik. Sejauh mata memandang, tampak bangunan-bangunan khas ibukota yang menjulang tinggi ke awan, beberapa gedung pemerintahan, tempat-tempat umum, ruas jalanan yang sesak dengan beraneka ragam kendaraan. Tampak pula bangunan masjid kebanggaan warga Jakarta, yaitu masjid Isti’lal yang dibangun begitu megah dan indah, serta rumah Kepresidenan atau yang lebih dikenal dengan nama Istana Negara juga terlihat sangat dekat dengan Monas. 
Di depan Monumen Nasional itulah berdiri Istana Negara yang juga merupakan destination bagi wisatawan yang berlibur ke Jakarta. Bangunan bercat putih itu tampak sedikit usang di era tujuh atau delapan puluhan. Tapi sekarang sudah tampak begitu elegan dan masih tetap saklar karena yang menempatinya adalah kepala negara. 
Setiap tahunnya, di lapangan Istana Negara diadakan upacara kemerdekaan Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus. Selain pelakon upacara, banyak juga masyarakat lokal, wisatawan asing dan para undangan dari negara-negara sahabat yang ikut menyaksikan hari yang paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. Mereka tidak hanya sekedar melihat, tapi ada juga yang mengabadikan moment itu ke dalam kameranya sebagai kenang-kenangan bahwa mereka pernah berkunjung ke Indonesia. 
Ternyata metromini yang ditumpanginya berhenti terakhir di perempatan jalan yang sekarang menjadi kawasan objek belanja kaum elite, Mall Artha Gading. Dari situ ia mencari rumah kontrakan dan berhasil menemukan sebuah rumah tua, kecil dan berdinding papan. Awalnya ia mengontrakinya, namun setelah dua tahun menabung dari hasil jerih payah ia bekerja sebagai pelatih seni tari di sebuah sanggar kecil di daerah tempat tinggalnya dan menjadi buruh tak tetap, rumah itu akhirnya mampu ia beli. 
Rumah itu adalah hartanya satu-satunya, tempat ia melepas lelah setelah seharian bekerja membanting tulang, rumah itu sebagai payung di kala hujan. Atapnya mampu menahan pekikan petir yang pilu. Rumah itu adalah surga baginya. 
Ia juga teringat waktu-waktu yang sering dihabiskannya dahulu jika sudah sangat penat bekerja. Ia sangat gemar bertamasya dan berkeliling-keliling kota. Maka hampir setiap akhir pekan, seperti kebanyakan orang lainnya, ia meliburkan kerjanya yang tak terikat, kecuali pada saat ia melatih tari ia tidak boleh libur. Ia sering mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Mulai dari Museum Fatahillah yang terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 2, Jakarta Barat, Lubang Buaya dan tempat-tempat peninggalan sejarah lainnya sudah habis ia kunjungi. Bahkan hampir dua kali dalam sebulan ia berkunjung ke Monas, meski hanya sekedar melihat keramaian masyarakat kota yang suntuk dengan hari-harinya. 
Ia juga sempat ke ancol. Meski Ancol di zaman dulu tidak sebagus yang ada sekarang, tapi ia merasakan sangat terkesan. Ia harus rela mengeluarkan uang Rp. 350,- untuk bisa masuk Ancol, uang seminggu ia bekerja sebagai buruh waktu itu. Tapi ketika ia berada di dalam kawasan Ancol, jerih payahnya terbayar sudah. Tampak olehnya deburan ombak yang garang, taman-taman yang indah dan aneka permainan yang mengasyikkan. 

Ia begitu terkesan tinggal di Jakarta, waktu itu. Dalam hatinya ia berkata, 

“ alangkah indahnya kota Jakarta bagiku. Banyak tujuan wisata yang membuatku ingin mengunjunginya satu persatu. Andai aku punya banyak uang, aku ingin mengelilingi seluruh wilayah Indonesia agar aku tahu betapa indahnya nusantara ini, buah cipta Sang Maha Agung.” 
Kemudian ia tersadar dari lamunannya, mendapati diri masih dalam suasana duka. Duka yang menari-nari di atas kenangan indah kota Jakarta. Lalu kenangan indah itu seakan lenyap di telan bumi. 
Ia pun kembali terjerat. Tiada tepi yang bisa membuatnya berhenti. Kemudian ia menyapa alam dengan sejuta kepedihan, namun mereka tidak tahu apa yang ia inginkan. 

“ oh.. Tuhan! Aku tidak minta jadi orang kaya. Aku hanya butuh rumahku. Aku juga butuh kasih sayang dari-Mu. Aku mohon berikan aku sedikit cinta-Mu. Bagaimana aku bisa hidup tanpa pertolongan-Mu?” 

Pak Kurdi tidak sanggup menahan air mata yang berjatuhan di pipinya. Ia terlarut dalam doa yang kushu’. 

“ rupanya aku ini cengeng... ha..ha...” 

Waktu pun berlalu begitu cepat. Tak terasa tiga bulan sudah Pak Kurdi melewati hari-hari dengan sangat berat semenjak rumahnya rubuh. Tepatnya sebuah gubuk. Sejak itu tempat tinggalnya tak menentu, kadang di mushalla, di emperan toko, pernah juga di bawah kolong jembatan karena si pemilik toko marah setiap pagi ia bangun sementara Pak Kurdi masih belum mengepaki barang-barangnya. 
Pak Kurdi sering menahan lapar pada saat tidak ada uang untuk membeli nasi atau makanan kecil. Ia sering minum air bak di mushalla-mushalla yang ia lalui jika kehausan. Tapi Pak Kurdi tidak pernah mau mengemis. Meski tidak ada uang di saku, ia tetap berusaha mencarinya dengan cara halal. ia tidak mau minta-minta, meskipun itu bukan perbuatan haram. Musibah yang menimpanya malah membuat hati Pak Kurdi semakin tegar dan kuat. Ia tidak peduli dengan orang-orang yang memandangnya dengan sebelah mata. “Aku tetap aku. Aku harus bisa melanjutkan hidupku di Ibukota negara tercinta. Dan aku bahagia, meski harus hidup dalam kekurangan.” Kata hatinya. 

Kini, dua tahun pun terlalu cepat untuk dinanti. Harapan yang selalu ia impikan datang menjadi kenyataan. Bagai sebuah cerita dongeng, sekarang Pak Kurdi sudah punya rumah baru, rumah yang ia beli dari hasil jerih payahnya bekerja sebagai pelatih seni tari daerah di sebuah sanggar ternama di ibukota. 
Awalnya ia melihat sebuah papan pengumuman yang bertuliskan, “ DICARI 28 PELATIH TARIAN TRADISIONAL, INFO LEBIH LANJUT HARAP HADIR PADA ACARA PEMBUKAAN ‘FESTIVAL TARI JAKARTA 2006’, BERTEMPAT DI GEDUNG KESENIAN JAKARTA, JALAN GEDUNG KESENIAN NO. 1 JAKARTA PUSAT.” 
Dengan kemahirannya menari Seudati yang ia pelajari saat di Aceh dulu dan pernah menjadi pelatih seni tari di sebuah sanggar di Jakarta Utara, Ia pun berminat ingin mencoba peluang emas ini, hingga akhirnya ia berhasil menjadi salah satu pelatih seni tari di Jakarta. Roda hidupnya pun berubah sembilan puluh derajat. Ia kini memiliki pekerjaan yang tetap sebagai guru seni tari. 
Hampir setiap harinya ia menghabiskan waktu untuk melatih anak didiknya belajar Seudati. Meski usianya yang sudah setengah abad, ia masih tetap ulet di bidang tari. Bahkan sekarang Pak Kurdi ikut aktif dalam program “Visit Indonesia 2008” yang bekerja sama dengan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Bertujuan mempromosikan Budaya dan Pariwisata Indonesia ke dunia Internasional. 
Pak Kurdi sekarang bukanlah pak Kurdi yang dulu. Ia sekarang tak lagi bermimpi. Impiannya keliling Indonesia untuk melihat keindahan Nusantara pun terwujud. Ia mulai merasa inilah sebenarnya keindahan. Dan inilah sesungguhnya tarian hidup yang harus dilakonkan manusia. 
Hidup bak sebuah sajak yang ditulis sedemikian indah oleh sang penyair. Tintanya menjadi ruh yang paling berharga, gagangnya bagai lekukan tubuh yang menari-nari di atas kertas putih kosong. Kemudian tinta itu keluar dengan rapi dari gagang yang kokoh, mengalir ke setiap lembaran kertas yang kosong dan menjelma menjadi untaian kata yang indah. Dan itulah hidup, terukir indah dalam setiap goresan tinta Tuhan Yang Maha Kuasa. 


*** 

By: Rinaldi A Thal
Lhokseumawe, Oktober 2008