BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan yang baik akan terselenggara apabila diawali dengan perencanaan yang baik pula, sehingga mampu dilaksanakan oleh seluruh pelaku pembangunan serta memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk itu, maka proses perencanaan memerlukan keterlibatan masyarakat, diantaranya melalui konsultasi public atau musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Musrenbang merupakan forum konsultasi para pemangku kepentingan untuk menghasilkan kesepakatan perencanaan pembangunan di daerah yang bersangkutan sesuai tingkatan wilayahnya. Penyelenggaraan musrenbang meliputi tahap persiapan, diskusi dan perumusan prioritas program/kegiatan, formulasi kesepakatan musyawarah dan kegiatan pasca musrenbang.
Musrenbang merupakan wahana utama konsultasi publik yang digunakan pemerintah dalam penyusunan rencana pembangunan nasional dan daerah di Indonesia. Musrenbang tahunan merupakan forum konsultasi para pemangku kepentingan untuk perencanaan pembangunan tahunan, yang dilakukan secara berjenjang melalui mekanisme “bottom-up planning”, dimulai dari musrenbang desa/kelurahan, musrenbang kecamatan, forum SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan musrenbang kabupaten/kota, dan untuk jenjang berikutnya hasil musrenbang kabupaten/ kota juga digunakan sebagai masukan untuk musrenbang provinsi, Rakorpus (Rapat Koordinasi Pusat) dan musrenbang nasional.
Proses musrenbang pada dasarnya mendata aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang dirumuskan melalui pembahasan di tingkat desa/kelurahan, dilanjutkan di tingkat kecamatan, dikumpulkan berdasarkan urusan wajib dan pilihan pemerintahan daerah, dan selanjutnya diolah dan dilakukan prioritisasi program/kegiatan di tingkat kabupaten/kota oleh Bappeda bersama para pemangku kepentingan disesuaikan dengan kemampuan pendanaan dan kewenangan daerah.
Pada tingkat desa/kelurahan, fungsi musrenbang adalah menyepakati isu prioritas wilayah desa/kelurahan, program dan kegiatan yang dapat dibiayai dari Alokasi Dana Desa (ADD), diusulkan ke APBD, maupun yang akan dilaksanakan melalui swadaya masyarakat dan APBDesa, serta menetapkan wakil/delegasi yang akan mengikuti musrenbang kecamatan.
Pada tingkat kecamatan, fungsi musrenbang adalah menyepakati isu dan permasalahan skala kecamatan, prioritas program dan kegiatan desa/kelurahan, menyepakati program dan kegiatan lintas desa/kelurahan di wilayah kecamatan yang bersangkutan, sebagai masukan bagi Forum SKPD dan bahan pertimbangan kecamatan, sesuai dengan tugas dan kewenangannya dalam menyusun Rencana Kerja Kecamatan.
Musrenbang kecamatan juga menetapkan delegasi kecamatan yang akan mengikuti Forum SKPD dan Musrenbang Kabupaten/Kota. Musrenbang kecamatan, selain menjaring kebutuhan nyata masyarakat desa/ kelurahan, juga berfungsi untuk memaduserasikan dengan kebijakan pembangunan pemerintah kabupaten/kota, sekaligus mengidentifikasi program-program/kegiatan yang bersumber dari dana non APBD atau program-program nasional yang langsung ke masyarakat, seperti PNPM. Untuk menjamin agar usulan dari masyarakat ini disampaikan ke tingkat kabupaten/kota, maka para wakil/delegasi dari tingkat desa/kelurahan, para wakil dari organisasi lembaga kemasyarakatan, terutama kelompok wanita dan kelompok marginal, perwakilan SKPD, juga termasuk anggota DPRD dari daerah asal pemilihan yang berkenaan diwajibkan untuk menghadiri musrenbang kecamatan.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas makalah kelompok mata kuliah Perencanaan Pembangunan yang dibimbing oleh Ibu Ti Aisyah, S.Sos., MSP.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Perencanaan Pembangunan Daerah Partisipatif
Pemberlakuan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam otonomi sudah sangat lama, yaitu sejak tahun 2001 (menggunakan UU No.22/ 1999 tentang Pemerintah Daerah) dan pada tahun 2004 (menggunakan UU No.32/ 2004 sebagai revisi Undang-undang sebelumnya) sampai sekarang. Dalam dua Undang-undang tentang Pemerintah Daerah tersebut telah diberlakukan sistem desentralisasi sebagai antitesa terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lalu yaitu sistem kebijakan sentralistik. Dengan adanya perubahan sistem kebijakan ini, pemerintah daerah mempunyai kewenangan besar untuk merencanakan/ merumuskan, dan melaksanakan kebijakan dan program pembangunan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Di dalam sistem desentralistik dan otonomi, melekat pula kewenangan sekaligus tanggung jawab untuk secara pro aktif mengupayakan kebijakan penanggulangan kemiskinan demi kesejahteraan rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tanggung jawab ini merupakan konsekwensi logis dari salah satu tujuan diberlakukannya otonomi daerah, yakni menciptakan sistem pelayanan publik yang lebih baik, efektif dan efisien yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat. Oleh karena itu kebijakan penanggulangan kemiskinan itu tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat semata.
Adanya kandungan aspek lokalitas yang tinggi dalam perumusan kebijakan publik juga menyebabkan pemerintah daerah dituntut untuk bersikap transparan dan akuntabel sebagai upaya untuk menciptakan good governance, sebab sekarang ini pemerintah daerah tidak hanya menjadi pelaksana kebijakan pemerintah pusat semata, namun memiliki kewenangan untuk merancang program pembangunan daerahnya sendiri dengan disesuaikan atas aspirasi dan kebutuhan rakyat di daerah. Hal ini ditunjang dengan adanya beberapa faktor yang mempermudah pelaksanaan otonomi daerah agar dapat berjalan secara kondusif terhadap kebijakan pembangunan.
- DAU (Dana Alokasi Umum). Diberikan kepada pemerintah daerah dalam bentuk block grant (pemberian hibah), sehingga pemerintah daerah mempunyai fleksibilitas yang cukup tinggi dalam menggunakan alokasi dana tersebut sesuai dengan kepentingan dan prioritas daerah. Dengan kata lain, pemerintah dapat bertindak lebih tanggap dan pro aktif dalam penanggulangan kemiskinan tanpa menunggu instruksi pemerintah di atasnya (propinsi ataupun pusat).
- Ijin penanaman modal dan kegiatan dunia usaha umumnya kini dapat diselesaikan di tingkat daerah. Sehingga pengurusannya lebih mudah dan biaya lebih murah.
- Daerah yang kaya sumber daya alam memperoleh penerimaan alokasi dana yang besar. Dengan dana tersebut daerah yang bersangkutan relatif lebih mudah untuk menentukan prioritas langkah-langkah pembangunan dengan berdasar pada partisipasi masyarakat.
2.2. Proses Penyusunan Kebijakan Program Pembangunan.
Bahwa untuk menjalankan aktifitas pembangunan, pemerintah daerah harus merumuskan rencana-rencana kebijakan, baik yang terkait dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) ataupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJMD) dan satuan-satuan kerja (SATKER) dinas harus disesuaikan dengan aspirasi masyarakat yang polanya sudah berubah menjadi bottom up dan bukan lagi top down. Memang harus diakui bahwa dalam pelaksanaan rencana program pembangunan biasanya dilakukan dengan menggunakan metode teknokratik dan demokrasi partisipatif. Pertama, perencanaan pembangunan secara teknokratik dilakukan secara sepihak oleh para teknokrat yang duduk di struktur pemerintahan daerah. Mereka akan melaksanakan penyusunan rencana pembangunan menurut buah pikiran dan ilmu pembangunan. Kelemahannya adalah perencanaan secara teknokratif ini tidak melibatkan warga masyarakat, sehingga perencanaan pembangunan yang dihasilkan biasanya justru tidak sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan, karena seringkali jauh dari harapan dan kebutuhan masyarakat. Pada sisi ini masyarakat hanya dibiarkan sebagai penonton/ objek saja, tanpa mempunyai hak apapun.
Kedua, perencanaan pembangunan secara demokratis partisipatif adalah metode perencaan pembangunan dengan cara melibatkan warga masyarakat yang diposisikan sebagai subyek pembangunan. Artinya masyarakat diberikan peluang menggunakan hak-hak politiknya untuk memberikan masukan dan aspirasi dalam penyusunan perencanaan pembangunan. Metode yang kedua ini diharapkan dapat memberikan hasil-hasil perencanaan pembangunan yang sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan ataupun sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat, karena memang warga masyarakat langsung menyampaikan aspirasi kebutuhannya. Metode ini berkarakteristik bottom up, bagaimana penjelasannya ?
Proses penyusunan kebijakan program pembangunan yang mempunyai karakter bottom up adalah sebagai berikut :
1. MUSBANGDES (Musyawarah Pembangunan Desa) atau istilah lainnya MUSRENBANGDES (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa).
Perencanaan pembangunan dimulai dari tingkat desa, yang biasanya dihadiri oleh mereka yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan, ataupun sesuai dengan kebijakan dari kabupaten, namun seringkali dalam prakteknya hanya menjadi semacam lips servis belaka, karena kegunaan dari musbangdes ini masih perlu dipertanyakan.
Mestinya sebelum dilakukan musyawarah di tingkat desa, ketua-ketua RT dan RW mengajak berembuk dengan warga mengenai kebutuhan apa saja yang harus diajukan sebagai usulan kepada pemerintah desa, lalu dilakukanlah musyawarah pembangunan di tingkat desa tersebut.
Biasanya masyarakat mempunyai pandangan yang salah bahwa pembangunan yang dilakukan di tempatnya seringkali “dikatakan sebagai bantuan”, padahal memang pembangunan tersebut telah menjadi hak warga masyarakat untuk mendapatkannya, dan sekali lagi bukan “bantuan pembangunan” sebagaimana yang seringkali digulirkan oleh para elit politik, baik dari lingkungan partai ataupun pemerintah. Mana ada partai politik yang memberikan bantuan pembangunan, sedangkan mereka dalam menjalankan roda organisasi saja belum bisa mandiri, masih disupport oleh pemerintah baik melalui APBD maupun APBN.
2. MUSBANGCAM (Musyawarah Pembangunan Kecamatan) atau istilah lainnya MUSRENBANGCAM (Musyawarah Rencana Pembangunan Kecamatan).
Merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan musyawarah pembangunan di tingkat desa. Kegiatan ini dilakukan untuk mengumpulkan berbagai masukan dari seluruh kawasan desa dalam satu kecamatan, kemudian yang menghadiri biasanya adalah mereka perwakilan dari desa.
Karena sudah banyak masukan dari seluruh desa, maka mestinya pada tingkatan ini sudah harus dipikirkan mengenai pembuatan “skala prioritas” pembangunan yang akan diajukan. Penentuan skala prioritas ini harus ditentukan secara bersama-sama antara pemerintah kecamatan dengan perwakilan-perwakilan desa, dan tidak hanya dari pemerintah kecamatan saja. Kalau hal ini yang terjadi maka akan terjadi sebuah situasi yang tidak fair, atau tidak adil.
3. MUSBANGKAB (Musyawarah Pembangunan Kabupaten) atau istilah lainnya MUSRENBANGKAB (Musyawarah Rencana Pembangunan Kabupaten).
Musyawarah ini dilakukan di tingkat Kabupaten yang dihadiri oleh para perwakilan dari kecamatan-kecamatan untuk kemudian melakukan sinkronisasi rencana-rencana pembangunan yang telah disusun dengan rencana-rencana yang telah dibikin oleh Dinas-dinas. Nah pada level ini biasanya akan terjadi tarik ulur kepentingan antara masukan aspirasi dari masyarakat dan dinas-dinas. Oleh karena memang, harus dicari format skala prioritas pembangunan masyarakat melalui pola perankingan, sehingga dapat dicapai kesepakatan bersama, dan tidak hanya pada coret-mencoret yang dilakukan oleh para kepala dinas semata. Penentuan skala prioritas ini tidak boleh dilakukan secara sepihak karena hasil dari pelaksanaan kegiatan ini nantinya akan menjadi Rencana Anggaran dan Pendapatan Daerah (RAPBD). Draft APBD ini kemudian diajukan oleh pemerintah kabupaten untuk dimusyawarahkan dengan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
2.3. Peran Strategis Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan
Dengan semangat reformasi dalam kerangka mewujudkan kepemerintahan yang baik (baca; good governance) dan berorientasi pada perwujudan kesejahteraan rakyat, maka masyarakat diharuskan untuk melakukan tindakan-tindakan aktif (peran partisipatif) guna mengawal seluruh rangkaian proses penyusunan perencanaan pembangunan yang dilakukan, baik di tingkat desa, kecamatan ataupun kabupaten. Apa sebab? masyarakat sekarang ini sudah bukan lagi berposisi sebagai obyek pembangunan semata, tetapi juga menjadi subyek pembangunan.
2.4. Pendekatan Proses Partisipatif Dalam Proses Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah Aceh
Peraturan dan perundangan di era desentralisasi memperlihatkan komitmen politik pemerintah untuk menata kembali dan meningkatkan sistem, mekanisme, prosedur dan kualitas proses perencanaan dan penganggaran daerah. Ini dilakukan dengan tujuan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan daerah yang lebih baik, demokratis, dan pembangunan daerah berkelanjutan.
Partisipasi masyarakat seperti diamanatkan dalam peraturan dan perundangan --sekedar menyebutkan sebagian-- seluruhnya mengamanatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan daerah. UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, mengamanatkan bahwa perencanaan pembangunan harus melalui pelibatan penyelenggara negara dan masyarakat. Dengan demikian, ruang partisipasi seluruh pelaku pembangunan dijamin dan terbuka luas. Ada tiga asas penting yang membuka partisipasi masyarakat dalam undang-undang tersebut yaitu: (1) Asas “kepentingan umum” yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif; (2) Asas“keterbukaan” yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia Negara; (3) Asas“akuntabilitas” yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, partisipasi masyarakat penting dalam sistem pemerintahan daerah. Partisipasi masyarakat berguna untuk: (1) Mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat; (2) Menciptakan rasa memiliki pemerintahan; (3) Menjamin keterbukaan, akuntabilitas dan kepentingan umum; (4) Mendapatkan aspirasi masyarakat dan; (5) Sebagai wahana untuk agregasi kepentingan dan mobilisasi dana.
Di samping itu, dalam UU No. 11/2006 tentang Pemerintah Aceh, Pasal 141 ayat 3 disebutkan bahwa “masyarakat berhak terlibat untuk memberikan masukan secara lisan maupun tertulis tentang penyusunan perencanaan pembangunan Aceh dan kabupaten/kota melalui penjaringan aspirasi dari bawah”.
Dalam peraturan dan perundangan baru, penyusunan rencana dikehendaki memadukan pendekatan teknokratis, demokratis, partisipatif, politis, bottom-up dan top down process. Ini bermakna bahwa perencanaan daerah selain diharapkan memenuhi kaidah penyusunan rencana yang sistematis, terpadu, transparan dan akuntabel; konsisten dengan rencana lainnya yang relevan; juga kepemilikan rencana (sense of ownership) menjadi aspek yang perlu diperhatikan. Keterlibatan masyarakat dan para stakeholder serta pihak legislatif dalam proses pengambilan keputusan perencanaan menjadi sangat penting untuk memastikan rencana yang disusun mendapatkan dukungan optimal bagi implementasinya.
RPJMD(K) atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah merupakan satu dokumen rencana resmi daerah yang dipersyaratkan bagi mengarahkan pembangunan daerah dalam jangka waktu 5 (lima) tahun ke depan masa pimpinan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Terpilih. Sebagai suatu dokumen rencana yang penting sudah sepatutnya Pemerintah Daerah, DPRD, dan masyarakat memberikan perhatian penting pada kualitas proses penyusunan dokumen RPJMD(K), dan tentunya partisipasi masyarakat menjadi mutlak dalam proses pemantauan, evaluasi, dan review berkala atas implementasinya.
Karena dokumen RPJMD(K) sangat terkait dengan visi dan misi Kepala Daerah Terpilih, maka kualitas penyusunan RPJMD(K) akan mencerminkan sejauh mana kredibilitas Kepala Daerah Terpilih dalam memandu, mengarahkan, dan memprogramkan perjalanan kepemimpinannya dan pembangunan daerahnya dalam masa 5 (lima) tahun ke depan dan mempertanggungjawabkan hasilnya kepada masyarakat pada akhir masa kepemimpinannya.
Untuk mendapatkan dukungan yang optimal bagi implementasinya, proses penyusunan dokumen RPJMD(K) perlu membangun komitmen dan kesepakatan dari semua stakeholder untuk mencapai tujuan RPJMD(K) melalui proses yang transparan, demokratis, dan akuntabel dengan memadukan pendekatan teknokratis, demokratis, partisipatif, dan politis.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Perencanaan adalah proses pemilihan alternatif menentukan tindakan setelah melihat pelbagai opsi dalam mencapai tujuan. Baik jangka pendek, jangka menengah ataupun jangka panjang (Conyers and Hills, 1986:27). Ruang lingkupnya dapat bersifat nasional, regional, atau sektoral; dapat juga bersifat makro/menyeluruh. Hasil dari rencana adalah kebijakan. Misal, kebijakan menyangkut pembangunan daerah atau kegiatan fisik, misalnya membangun proyek jalan raya, dan sebagainya.
Perencanaan idealnya harus melibatkan publik. Fakta di negara kita, perencanaan pembangunan belum melibatkan publik, dan masih bersifat top down planning. Paradigma community driven yaitu penciptaan iklim untuk memberi penguatan peran masyarakat untuk ikut dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, ikut menggerakkan atau mensosialisasikan dan melakukan kontrol publik, belum signifikan. Tanpa melibatkan masyarakat, pemerintah tidak akan dapat mencapai hasil secara optimal. Pembangunan hanya akan melahirkan produk-produk baru tak sesuai kebutuhan masyaratnya.
Pembangunan juga membutuhkan strategi yang tepat agar dapat lebih efisien dari segi pembiayaan dan efektif dari segi hasil. Strategi ini penting untuk menentukan peran masing-masing (pemerintah dan masyarakat). Dalam UU nomor 22/1999, perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya harus berorientasi ke bawah dan melibatkan masyarakat luas, melalui pemberian wewenang perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di tingkat daerah. Dengan cara ini pemerintah makin mampu menyerap aspirasi masyarakat, sehingga dapat memberdayakan dan memenuhi kebutuhan masyarakat itu.