Senin, 16 Agustus 2010

DILEMA SEBUAH PELAYANAN PUBLIK

Oleh: Rinaldi A Thal*


Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kewajiban dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal demikianlah yang melatar-belakangi lahirnya kebijakan yang mengatur tentang pola pelayanan publik di Indonesia yang tertuang dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Lahirnya UU No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik tidak serta merta bisa merubah pola pelayanan yang selama ini masih belum berjalan dengan baik menjadi lebih berkualitas. Terlebih karena undang-undang ini masih terlalu dini. Meski sebelumnya telah ada regulasi baku yang mengatur mekanisme pelayanan publik, namun masih dirasa belum cukup untuk membuat sebuah pelayanan itu menjadi benar-benar dapat memuaskan masyarakat (pelanggan). Karena itu perlu kerja keras dari semua pihak untuk dapat mewujudkannya.
Keberhasilan sebuah pemerintahan juga sangat ditentukan dari baik atau buruknya pelayanan publik yang diberikan. Dinamika dari sebuah pelayanan dapat melahirkan berbagai perspektif yang timbul dari kalangan masyarakat. Ada yang menilai pelayanan publik saat ini sudah berjalan dengan baik, tapi tak jarang yang berpendapat bahwa pelayanan publik di Indonesia masih sangat buruk.
Melihat dari apa yang selama ini terjadi, pelayanan publik bukanlah salah satu bidang yang berhasil diimplementasikan dengan baik yang bisa menjadi kebanggaan pemerintah. Terlebih masyarakat terlanjur menilai bahwa birokrasi dan sistem pelayanan publik di Indonesia lamban dan terbelit-belit. Sebuah dilema yang harus segera dipulihkan.
Pemerintah harus bisa merubah pola pikir masyarakat yang masih menilai negatif tentang birokrasi ke pola pikir yang positif secara komprehensif. Hal tersebut perlu dilakukan dengan upaya-upaya positif pula oleh pemerintah dengan melakukan reformasi birokrasi, sehingga paradigma negatif tentang birokrasi dan pola pelayanan publik yang lahir dari kalangan masyarakat menjadi hilang dan berganti dengan kepercayaan (trust) yang baik kepada pemerintah, terutama kepercayaan terhadap penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik.
Penyelenggara pelayanan harus bersama-sama dengan masyarakat dalam menyusun dan menetapkan standard pelayanan, hal tersebut sesuai dengan pasal 20 ayat 2 dalam UU No. 25 tahun 2009. Dalam menyusun dan menetapkan standar pelayanan harus memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat dan kondisi lingkungan sehingga iklim pelayanan publik yang terjadi dapat berjalan dengan baik dan bisa memuaskan masyarakat.
Dalam mewujudkan kepuasan masyarakat dalam rangka pelayanan, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) dalam keputusannya Nomor : 81/1995 menegaskan bahwa pelayanan yang berkualitas hendaknya sesuai dengan sendi-sendi sebagai berikut : pertama, Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur/ tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat dan tidak berbelit-belit serta mudah dipahami dan dilaksanakan.
Kedua, Kejelasan dan kepastian, menyangkut : prosedur/ tata cara pelayanan umum, Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administrative, Unit kerja atau pejabat yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum, Rincian biaya/tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya, Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum, Hak dan kewajiban baik dari pemberi maupun penerima pelayanan umum berdasarkan bukti-bukti penerimaan permohonan/ kelengkapannya, sebagai alat untuk memastikan pemrosesan pelayanan umum, Pejabat yang menerima keluhan pelanggan (masyarakat).
Ketiga, Keamanan, mengandung arti bahwa proses serta hasil pelayanan umum dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum. Keempat,  Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur/tata cara, persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya/tarif dan hal-hal lain yang yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan difahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.
Kelima, Efisien, meliputi persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang diberikan, dicegah adanya pengulangan pemenuihan kelengkapan persyaratan, dalam hal proses pelayanannya mempersyaratkan kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
Keenam,  Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan : nilai barang atau jasa pelayanan umum dengan tidak menuntut biaya yang tinggi diluar kewajaran, kondisi dan kemampuan pelanggan (masyarakat) untuk membayar secara umum, ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketujuh, Keadilan yang merata dalam arti cakupan atau jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil. Kedelapan, Ketepatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
Kedelapan hal tersebut sesungguhnya merupakan pilar penting bagi terwujudnya sebuah pelayanan yang baik— sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun realita yang terjadi di lapangan apakah sudah sesuai dengan apa yang semestinya terjadi? Sebuah dilema bagi kita melihat bagaimana sebuah realita dan teori tentang pelayanan bisa berjalan dengan harmonis.
Sedikitnya ada empat permasalahan yang menurut penulis tengah mendera pelayanan publik dewasa ini yang menyebabkan tingkat kepuasaan masyarakat masih rendah.
Pertama,  rendahnya kualitas aparatur pemberi pelayanan. Sebuah pelayanan yang berkualitas lahir dari bagaimana seorang aparatur memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kualitas dan profesionalisme kerja seorang aparatur sangat menentukan sebuah pelayanan yang diberikan kepada masyarakat itu baik atau tidak.
Kedua, kurangnya informasi yang seharusnya diketahui oleh masyarakat. Pihak pemberi atau penyelenggara pelayanan sesuai dengan pasal 23 ayat 5 dalam UU No. 25 tahun 2009, berkewajiban menyediakan informasi kepada masyarakat secara terbuka dan mudah diakses. Hal tersebut untuk mempermudah masyarakat dalam mengurus segala sesuatu yang diperlukan. Namun tak jarang informasi yang seharusnya diketahui oleh masyarakat lambat atau bahkan tidak disampaikan kepada masyarakat, akibatnya masyarakat akan mengalami kesulitan, seperti tidak lengkap berkas yang seharusnya dilampirkan pada saat pengurusan sesuatu, dan hal lain yang mengharuskan masyarakat untuk melengkapi dan mengurusnya kembali.
Ketiga, kurun waktu yang tidak pasti. Seringkali publik mengeluh masalah waktu. Ketidak-pastian waktu dalam pengurusan suatu kebutuhan menyebabkan masyarakat menjadi malas berurusan dengan suatu instansi penyedia pelayanan, meskipun hal tersebut bersifat urgen bagi mereka. Namun karena alasan birokrasi yang lamban dan terbelit-belit itulah yang menyebabkan masyarakat menjadi enggan berurusan dengan birokrasi.
Keempat, adanya pungutan sejumlah uang dengan alasan yang tidak relevan. Meskipun dalam UU No. 25 tahun 2009 pasal 31 ayat 1 disebutkan bahwa, biaya/tarif pelayanan publik pada dasarnya merupakan tanggung jawab negara dan/atau masyarakat (dalam hal ini masyarakat juga dibebankan biaya selaku penerima pelayanan), namun yang kerap terjadi para pelaksana pelayanan meminta sejumlah uang kepada penerima pelayanan dengan alasan yang berbeda-beda, seperti untuk uang lelah pekerja, untuk uang minum pekerja, karena peraturannya demikian, dan alasan-alasan lainnya. Sehingga masyarakat dibuat bingung dengan hal tersebut.
Terlepas dari permasalahan tersebut, diharapkan ke depan pola pelayanan publik yang diterapkan di Indonesia bisa berjalan dengan baik, tentunya dapat memuaskan masyarakat. Untuk itu, dengan lahirnya UU No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik ini bisa menjadi acuan dasar dalam tata pelaksaan pelayanan publik yang berkualitas, berkeadilan, dan memuaskan pelanggan. Untuk mewujudkannya maka perlu adanya pengawasan dari berbagai pihak, seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Ombudsman, dan juga bersama-sama dengan masyarakat sehingga penyelenggaraan pelayanan publik dapat terwujud dengan baik dan harmonis. Semoga...

 *Penulis adalah Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara (Himian) Universitas Malikussaleh Periode 2009-2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar